Wednesday, July 21, 2010

Dialektika Geologi


Ada sebuah pepatah Inggris yang mengatakan, "sekokoh tanah yang kita pijak." Sekalipun ide ini begitu menentramkan hati kita, ia jauh sekali dari kenyataan. Bumi di bawah kaki kita tidaklah sekokoh yang kita pikirkan. Bebatuan, pegunungan, benua-benua itu sendiri, berada dalam keadaan bergerak dan berubah terus-menerus, sifat yang baru setengah abad belakangan saja dipahami orang. Geologi adalah ilmu tentang pengamatan dan penjelasan dari semua gejala yang terjadi di permukaan dan di kedalaman planet ini. Tidak seperti lain-lain ilmu alam seperti fisika dan kimia, geologi mendasarkan dirinya, bukan pada percobaan melainkan pada pengamatan. Sebagai akibatnya, perkembangannya ditentukan sekali oleh cara orang menginterpretasi hasil-hasil pengamatan itu. Hal ini, pada gilirannya, ditentukan oleh kecenderungan filsafat dan agama pada jamannya. Fakta ini menjelaskan perkembangan geologi yang berkembang jauh lebih lambat dibandingkan dengan lain-lain ilmu tentang bumi. Baru tahun 1830 Charles Lyell, salah satu bapak geologi modern, menunjukkan bahwa bumi berusia jauh lebih tua daripada apa yang dikatakan oleh Kitab Kejadian. Pengukuran lanjut berdasarkan peluruhan radioaktif membenarkan hal ini, menetapkan bahwa bumi dan bulan berusia sekitar 4,6 milyar tahun.

Sejak awal manusia telah sadar akan gejala-gejala seperti gempa bumi dan ledakan gunung yang mengungkap kekuatan mahadahsyat yang tersumbat di bawah permukaan bumi. Tapi sampai abad ini gejala-gejala itu selalu disebut sebagai disebabkan oleh para dewa. Poseidon (Neptunus) adalah "sang pengguncang bumi" sementara Vulcan (Hephistes) adalah dewa pandai besi yang pincang, yang tinggal di perut bumi, dan menyebabkan gunung meletus setiap ia mengayunkan godamnya. Para geolog di abad ke-18 dan 19 terdiri dari para aristokrat dan biarawan, yang percaya, bersama Uskup Ussher, bahwa bumi diciptakan oleh Tuhan pada tanggal 23 Oktober 4004 SM. Untuk menjelaskan ketidakberaturan pada permukaan bumi, seperti lembah dan pegunungan tinggi, mereka mengembangkan satu teori - catastrophism - yang mencoba membuat fakta-fakta yang teramati cocok dengan kisah-kisah bencana dalam kitab suci, seperti kisah tentang Air Bah. Tiap musibah menyapu bersih seluruh spesies, yang merupakan penjelasan yang nyaman untuk adanya fosil yang telah mereka temukan terkubur jauh di dalam bebatuan di tambang-tambang batubara.

Bukan satu kebetulan bahwa teori katastropik mendapat pijakan paling kuat di Perancis, di mana Revolusi Besar 1789-94 memiliki pengaruh yang paling kuat atas psikologi semua kelas, yang gemanya masih terus dibunyikan di semua generasi susul-menyusul. Bagi mereka yang berniat melupakannya, revolusi 1830, 1848 dan 1870 merupakan peringatan yang sangat jelas atas pengamatan Marx yang tajam bahwa Perancis adalah negeri di mana perjuangan kelas selalu dilakukan sampai tahapan terakhirnya. Bagi Georges Cuvier, naturalis dan geolog Perancis abad ke-19 yang terkenal itu, perkembangan bumi ditandai dengan "sederetan masa-masa pendek yang mengandung perubahan yang intensif, dan tiap masa menandai satu titik balik dalam sejarah. Di antara masa-masa itu, terdapat masa-masa stabilitas yang panjang dan membosankan. Seperti Revolusi Perancis, setelah masa penuh gejolak, segala sesuatunya berubah. Seperti itu pula, waktu geografis dibagi-bagi menjadi bab-bab yang terpisah, masing-masing dengan tema dasarnya sendiri."[i]

Jika Perancis adalah negeri klasik bagi revolusi dan kontra-revolusi, Inggris adalah tanah klasik bagi reformisme dan gradualisme. Revolusi borjuis Inggris, seperti yang terjadi di Perancis, juga terjadi dengan sangat berdarah, di mana Raja kehilangan kepalanya, demikian juga banyak orang lain. Sejak itu "kelas-kelas terhormat" di Inggris telah berusaha keras untuk melupakan hal ini. Mereka jauh lebih suka untuk mengingat apa yang dinamai dengan tidak cocok sebagai "Revolusi Gemilang" 1688, satu kudeta yang sama sekali tidak gemilang di mana seorang avonturir Belanda bertindak sebagai makelar politik dalam sebuah perebutan kekuasaan antara orang-orang kaya baru dari Kota dengan para aristokrat. Kejadian ini telah menyediakan basis teoritik bagi tradisi Anglo-Saxon tentang gradualisme dan "kompromi-kompromi".

Kejijikan terhadap perubahan revolusioner dalam segala bentuknya diterjemahkan ke dalam sebuah keinginan yang obsesif untuk menghapuskan segala jejak lompatan mendadak yang terjadi di alam maupun masyarakat. Lyell mengajukan satu pandangan yang persis berseberangan dengan katastropisme. Menurutnya, garis batas antara berbagai lapisan geologis tidak menunjukkan adanya perubahan mendadak tapi sekedar mencatat pergeseran pola transisi antara dua lingkungan habitat yang berdekatan. Tidak perlu kita mencari satu pola global. Masa geologis hanyalah satu metode klasifikasi yang enak dilihat, agak mirip dengan pembagian sejarah Inggris menurut siapa yang sedang berkuasa.

Engels memuji sumbangan Lyell untuk kemajuan geologi:

"Lyell adalah orang yang pertama membawa nalar sehat ke dalam geologi dengan menggantikan revolusi-revolusi mendadak yang ditentukan oleh kehendak dari sang Pencipta dengan transformasi perlahan-lahan yang dialami bumi."

Walau demikian, ia juga mengakui kelemahan Lyell;

"Kekurangan dari pandangan Lyell - setidaknya dalam bentuk-bentuk awalnya - terletak pada pandangan bahwa kekuatan-kekuatan yang bekerja pada bumi adalah konstan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Pendinginan pada bumi tidak berarti baginya; bumi tidak berkembang menuju arah tertentu tapi hanya berubah dalam cara yang kebetulan dan tidak beraturan."[ii]

Peter Westbrock menulis,

"Pandangan-pandangan ini mencerminkan filsafat yang dominan terhadap ciri sejarah geologis - di satu pihak katastropisme, paham tentang stabilitas yang diganggu oleh masa-masa singkat yang berisi perubahan cepat, dan di pihak lain, gradualisme, ide tentang fluktuasi yang kontinyu. Pada masa Coquand, katastropisme pada umumnya diterima di Perancis, tapi simpati untuk filsafat ini akan dengan cepat pudar, karena alasan-alasan praktis. Teori geologis harus dibangun dari nol. Para pendiri geologi dipaksa untuk menerapkan prinsip-prinsip masa kini sebagai kunci untuk memahami masa lalu seketat mungkin. Katastropisme tidak terlalu berguna persis karena ia mengklaim bahwa kondisi geologis dari satu masa berbeda secara mendasar dengan kondisi di masa yang menyusulnya. Dengan teori geologis yang jauh lebih maju, yang sekarang ini ada di tangan kita, kita dapat mengambil sikap yang lebih lentur. Menariknya, katastropisme kini sedang mendapatkan kembali momentumnya."[iii]

Argumen antara gradualisme dan katastropisme sebenarnya hanya di permukaan saja. Hegel telah membahas persoalan ini dengan menciptakan garis pengukuran nodal, di mana akumulasi perubahan kuantitatif yang perlahan-lahan melahirkan lompatan kualitatif secara berkala. Gradualisme diganggu, sampai satu kesetimbangan baru dapat ditegakkan, tapi pada tingkatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Proses perubahan geologis ini bersesuaian persis dengan model Hegel, dan hal itu kini telah dibuktikan dengan meyakinkan.

No comments:

Post a Comment